KASUS SUMIATI
Peristiwa
tragis yang dialami Sumiati telah menarik perhatian publik di Indonesia maupun
seantero dunia. Peristiwa ini menarik perhatian karena setidaknya terkait tiga hal.
Pertama, terjadi tindakan sadis yang luar biasa oleh majikan terhadap pembantu
rumah tangganya. Banyak tindakan kriminal terjadi di mana-mana tapi tidak sesadis
seperti yang dialami Sumiati.
Kedua, dilakukan oleh pemilik otoritas terhadap orang yang di
bawah otoritasnya, Majikan terhadap pekerja yang dibayarnya. Dari sini masalah
keadilan dan HAM terusik. Bayangkan jika ini dilakukan oleh majikan terhadap sesama
majikan, perhatian publik tidak akan seramai ini.
Ketiga, perbuatan itu dilakukan oleh seorang warga negara
terhadap warga negara lain dan kebetulan terhadap WNI, di sini persoalan
menjadi meruncing.
Dalam situasi seperti ini, seperti halnya
peristiwa-peristiwa terdahulu, Indonesia akan melihat ini sebagai masalah harga
diri bangsa dan tentunya reaksi masyarakat Indonesia akan bertolak dari
sentimen ini.
Penggiat HAM telah melakukan berbagai protes atas peristiwa
ini tentu atas dasar kepentingan HAM. Reaksi publik Indonesia tentu lebih dari
sekedar itu. Pemerintah telah memberikan reaksi dan langkah-langkah sesuai
dengan kapasitasnya.
Presiden bahkan dalam Rapat Kabinet Terbatas 19 November
2010 telah menyampaikan pernyataan keras, "Khususnya insiden Sumiati, saya
anggap itu di luar batas perikemanusiaan".
Kemlu dengan jajarannya termasuk perwakilan di Saudi Arabia
juga telah melakukan langkah-langkah sesuai dengan "kewenangan" dan
"kapasitasnya". Namun kembali publik, menilai upaya ini dianggap
masih kurang.
Mengapa selalu dianggap masih kurang? Pertanyaan ini menarik
namun tidak terlepas dari suatu akar masalah yang kelihatannya belum merata
dipahami bersama.
Pemahaman tentang permasalahan perlindungan TKI di luar
negeri diwarnai oleh beberapa distorsi atau kekeliruan umum yang menggejala di
publik.
Pertama, adanya kesan seolah-olah Pemerintah RI memiliki
kewenangan untuk melakukan penegakan hukum di negara penerima sehingga
cenderung mendorong pemerintah RI untuk mengambil langkah-langkah seperti
melakukan tindakan hukum kepada majikan dan jika perlu melakukan penangkapan,
suatu tindakan yang justru melanggar hukum internasional.
Prinsip kedaulatan
Peran negara pengirim untuk melindungi tenaga kerjanya di
luar negeri dibatasi oleh prinsip kedaulatan yang diatur oleh hukum
internasional.
Sering ada salah pengertian bahwa seolah-olah negara
penerima TKI adalah salah satu provinsi Indonesia sehingga memiliki ekspektasi
bahwa Pemerintah RI bisa melakukan apa saja di negara penerima TKI, termasuk
melakukan penegakan hukum.
Berdasarkan prinsip hukum internasional (par in parem no
habet imperium: an equal has no authority over an equal), perlindungan
penegakan hukum oleh suatu negara terhadap warga negaranya harus berhenti pada
saat warga negara itu keluar dari batas negara itu.
Tanpa disadari, kita justru penganut fanatik terhadap
prinsip kedaulatan ini sehingga pernah marah kepada Australia karena mencoba
mencampuri kasus Corby di Bali beberapa tahun silam. Kita pernah murka kalau AS
atau Negara yang warganya jadi korban mencoba melindungi WN-nya waktu kasus Bom
di Mariott beberapa tahun yang lalu. Namun dengan logika yang terbalik kita
justru ingin Pemerintah RI melakukan "intervensi" terhadap kedaulatan
Negara lain.
Jika demikian, apa yang dapat dilakukan oleh suatu Negara
terhadap warganya yang mengalami peristiwa tragis di luar negeri seperti
Sumiati? Tentu saja Pemerintah memiliki ruang untuk melakukan langkah
perlindungan namun upaya itu tidak sama dengan dan tidak mungkin seleluasa
seperti yang dilakukan oleh Pemerintah RI terhadap WNI di wilayah Indonesia.
Hukum internasional punya aturan perihal ini jika tidak maka
yang muncul justru pertikaian kedaulatan. Upaya yang tersisa bagi Pemerintah
dalam situasi seperti ini hanya pada apa yang disebut perlindungan konsuler dan
diplomatik. Perlindungan penegakan hukum tidak lagi dimungkinkan karena
penegakan hukum merupakan wewenang dan kedaulatan negara penerima.
Perlindungan diplomatik
Apa itu perlindungan diplomatik dan konsuler? Masalah ini
memang tidak terlalu tersosialisasi di publik Indonesia. Perlindungan konsuler
adalah intervensi suatu negara terhadap negara lain yang diizinkan oleh hukum
internasional dengan tetap menghormati kedaulatan negara itu. Perlindungan
konsuler hanya terbatas pada upaya "to ensure that its nationals are
treated with due process in receiving state".
Artinya, Kemlu dan KBRI di Ryad hanya berwenang untuk
memastikan bahwa kasus Sumiati mendapat perlindungan hukum Saudi Arabia (bukan
Indonesia) dan diperlakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Saudi
Arabia (bukan di Indonesia).
Kemlu dan KBRI tentu tidak bisa melakukan penegakan hukum
seperti memanggil, menangkap atau menghukum sang majikan karena itu akan
melanggar kedaulatan Saudi Arabia. Jadi tugas Kemlu dan KBRI adalah
pendampingan konsuler bukan mencampuri pro justisia-nya.
Jika Kemlu dan KBRI menilai bahwa kasus Sumiati diperlakukan
tidak sesuai dengan hukum acara Saudi Arabia, seperti ada pelanggaran HAM oleh
aparat hukum Saudi Arabia atau ada diskriminasi hukum oleh aparat dan peradilan
Saudi Arabia, maka Indonesia dapat mengangkat kasus Sumiati dari yang semula
dalam format P to G (Private to Government) menjadi G to G (Government to
Government). Artinya kasus Sumiati ini oleh Indonesia diangkat sebagai kasus
antar negara. Upaya ini yang disebut dengan perlindungan diplomatik.
Perlindungan diplomatik jarang dilakukan karena sudah
bersifat sengketa antar negara. Indonesia pernah melakukan upaya perlindungan
diplomatik pada zaman Soekarno waktu 5 marinir Indonesia dihukum gantung di
Malaysia yang akhirnya berlanjut pada pertikaian Indonesia-Malaysia.
Perlindungan diplomatik jika tidak membuahkan hasil dapat
melahirkan sengketa antar negara dan tentunya opsi ke penyelesaian sengketa
secara internasional termasuk Mahkamah Internasional, sekalipun dengan persyaratan
tertentu, menjadi terbuka.
Namun perlu ditekankan, kasus pada tataran diplomatik tidak
lagi bertumpu pada persoalan perbuatan sadis majikan terhadap Sumiati, namun
sudah bergeser ke atas menjadi persoalan sikap (behaviour) Saudi Arabia sebagai
negara berdaulat terhadap Indonesia yang memiliki kepentingan hukum atas warga
negaranya.
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah RI sudah pada jalur ini. Kemlu dan KBRI Ryad telah melakukan upaya yang menjadi kewenangannya menurut hukum internasional.
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah RI sudah pada jalur ini. Kemlu dan KBRI Ryad telah melakukan upaya yang menjadi kewenangannya menurut hukum internasional.
Nota protes telah dilayangkan dan telah mendapat tanggapan
dari Duta Besar Saudi di Jakarta. KBRI terus melakukan monitoring dan
pendampingan terhadap proses penanganan hukum kasus ini. Upaya ini dijamin oleh
Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler. Ini sudah merupakan bentuk tekanan
kuat terhadap Saudi Arabia.
Pernyataan Presiden RI terhadap kasus Sumiati tersebut di
atas dapat dianggap sebagai peristiwa diplomatik yang cukup luar biasa.
Sekalipun Presiden belum mengangkat kasus ini ke arah
perlindungan diplomatik namun pernyataan tersebut telah memberi bobot yang
cukup kuat untuk bekerjanya perlindungan konsuler. Pada tahap ini campur tangan
Pemerintah RI, terlebih Presiden RI tidak hanya cukup memadai tapi telah lebih
dari cukup jika diteropong dari kadar kelaziman diplomatik.
Sudah saatnya kah Indonesia melakukan upaya perlindungan
diplomatik terhadap kasus Sumiati? Keputusan ini tentu merupakan keputusan
politik tingkat tinggi yang perlu dipertimbangkan secara matang karena
konsekuensi dari keputusan ini membuka ruang bagi lahirnya pertikaian antar
Negara. Namun, marilah terlebih dahulu kita dukung upaya perlindungan konsuler
yang sekarang sedang giat dilakukan Pemerintah.
No comments:
Post a Comment